Jumat, 21 Juni 2024

Khutbah Idul Adlha | Tips Membentuk Keluarga Harmonis

Momen Idul Adlha; Momen Untuk Membangun Keluarga Sakinah

Oleh: Miens al-Faqiir


اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ.

اْلحَمْدُ لِلّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنسْتغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ. وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أنْ لاَ إلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ. وَأشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ هَذَا الرَّسُوْلِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَمَّا بَعْدُ:

فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. 

وَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، أَعُْوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ: وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۗ فَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ فَلَهٗٓ اَسْلِمُوْاۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِيْنَ ۙ (الحجّ: 34)

Alhamdu lillah, segala puji milik Allah atas kesempatan yang masih disediakan pada kita untuk melanjutkan proses belajar di sekolah kehidupan ini. Jika kehidupan ini adalah sekolah agar kita belajar, maka setiap waktu adalah jam pelajaran, setiap tempat adalah tempat belajar dan setiap peristiwa, setiap orang yang datang dan pergi dari kehidupan kita adalah guru yang memberi kita pelajaran. Maka, mari kita bersama-sama untuk terus belajar menjadi pribadi yang bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga dan semua makhluq di alam semesta ini
Shalawat salam semoga selamanya terlimpah-curahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW.

Hadirin rahimakumullah...

Banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil lewat momen spesial ini, momen idul adlha. Di mana di momen ini paling dikenal dengan penyembelihan hewan sebagai bentuk pendekatan diri kepada kesejatian diri kita sendiri

Di antara pelajaran yang paling penting dari idul adlha ini, bahkan ini merupakan esensi dari idul adlha itu sendiri adalah:

1. Melepas ego negatif atau minimal memperkecil tensinya. Ego negatif berasal dari kemelekatan kita terhadap hal-hal yang berasal dari luar diri kita, dan itu bukanlah diri kita yang sejati. Semakin kita melekat pada hal-hal tersebut, ego negatif akan semakin besar. Semakin kita bisa mengurangi kemelekatan tersebut, ego kita pun perlahan menipis dan berkurang. Bahkan, jika kita tidak ada kemelekatan, maka ego bisa jadi hilang sama sekali. 

Apa saja hal-hal yang bisa menjadi sumber kemelekatan seseorang?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita coba ingat saat di mana merupakan bayi yang baru keluar dari rahim ibu kita. Atau, kalau kita lupa, coba kita perhatikan seorang bayi yang baru keluar dari rahim ibunya; bayi itu keluar dengan tanpa punya apa-apa, tidak bisa apa-apa dan tidak membawa apa-apa. Tapi seiring berjalan waktu, sang bayi itu mulai melekat pada nama yang disematkan orang tua kepadanya, semakin dewasa, dia semakin bertambah kemelekatannya pada badan, ilmu, harta, jabatan, pangkat dan lain-lain. Dari sinilah mulai muncul ego. Jika semakin tidak terkontrol kemelekatan pada hal-hal tersebut, yang membesar adalah ego. Dan kebanyakan orang, ketika melekat pada hal itu semua, yang muncul adalah ego negatif yang merusakk, menyakiti, mengeksploitasi, menganiaya dan mendominasi

Maka, lewat hari raya qurban ini kita dilatih untuk melepas satu-persatu ego negatif dengan cara melepas satu-persatu kemelekatan, terutama kemelekatan pada harta yang disimbolkan dengan menyembelih hewan ternak untuk dibagikan kepada orang banyak. Melalui firmanNya, Allah mengajarkan kita:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (الْكَوْثَر: 2)

Maka shalatlah (sambungkanlah dirimu) pada tuhanmu (melalui sifat welas-asih) dan sembelihlah (ego kebinatanganmu yang suka menerkam, mengancam, merusak, menyakiti, menganiaya dan mendominasi)

2. Lewat idul qurban, kita belajar untuk membangun keluarga yang sakinah. 
Kunci dari membangung keluarga sakinah itu cuma satu: melepas atau meminimalisir tensi ego masing-masing anggota keluarga

Kita tahu, dalam kisah disyari'atkan qurban ada tiga tokoh utama; Nabi Ibrahim sebagai bapak / kepala keluarga, Siti Sarah sebagai ibu rumah tangga dan Nabi Ismail sebagai anak. Masing-masing dari 3 tokoh tersebut adalah contoh keluarga yang dibangun bukan berlandaskan ego masing-masing anggota. 

Misalnya saja, meskipun Nabi Ibrahim sebagai kepala keluarga yang punya kebebasan untuk menetukan dan memutuskan suatu perkara, ketika datang perintah Allah untuk "menyembelih" Ismail, Nabi Ibrahim tetap mengajak anaknya untuk berdiskusi dan bertukar pendapat. Hal ini diabadikan dalam Q.S. Ash-Shaffat: 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur) berusaha (mempunyai nalar kritis / kemungkinan ada ego) beserta Ibrahim,

 قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ

Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!"

Perhatikanlah bagaimana Nabi Ibrahim sebagai kepala keluarga dalam melepas egonya sehingga dengan kondisi seperti itu pun Nabi Ibrahim tetap bertanya dan bertukan fikiran dengan anaknya. Namun, karena Nabi Ismail pun sudah bisa melepas ego yaitu disebabkan karena kemelekatan pada tubuhnya sendiri, Nabi Ismail menjawab dengan indah:

 قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar"

Jawaban Nabi Ismail tidaklah mungkin muncul dari orang yang masih punya kemelekatan dan ego negatif. 

Maka, melalui idul adlha ini, mari kita perlahan melepas ego negatif dari diri kita masing-masing dengan cara melepaskan satu-persatu kemelekatan diri kita pada hal-hal yang ada di luar diri kita yang sejati. Karena sejatinya diri kita adalah ruh Allah yang bersifat kasih-sayang / welas-asih. Dengan cara demikian, kita bisa sedikit lebih dekat untuk bisa berdamai dengan diri sendiri, dan hanya dengan berdamai dengan diri sendiri-lah kita bisa berdamai dengan orang / makhluq lain. Sehingga kita bisa menjalin hubungan yang harmonis dalan bingkai kebersatuan (unity/tauhid), baik hubungan dengan istri, anak, ibu, bapak, tetangga, masyarakat luas dan seluruh makhluq di alam semesta dengan didasari cinta yang tanpa syarat (rohmatan lil 'aalamiin)

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ. إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم.



0 komentar

Posting Komentar