Kamis, 30 Agustus 2018

Mutiara Kata | Penilaian Subjektif dan Penilaian Objektif

Mutiara Kata 

Penilaian Subjektif dan Penilaian Objektif

Penilaian Subjektif dan Penilaian Objektif

Assalamu'alaikum wr.
"Bagaimanapun, penilaian makhluq yang diberi 'like & dislike' tidak akan pernah objektif. Itulah barangkali hikmah penciptaan malaikat tanpa nafsu (like/syahwat & dislike/godlob)
Meski demikian, keberadaan like/dislike itu menjadi faktor manusia memiliki kebudayaan; membuat rumah, membuat pakaian, mengolah makanan dan lain-lain"
Di dunia ini, hanya ada dua penilaian: Penilaian Subjektif dan Penilaian Objektif. Penilaian objektif berarti penilaian pada suatu benda atau seorang manusia sesuai dengan realita benda atau orang itu sendiri (objek) tanpa dipengaruhi oleh perasaan orang yang menilai dan tanpa rekayasa apapun. Sedangkan penilaian Subjektif semuanya dipengaruhi oleh orang yang menilainya itu sendiri (subjek penilai)
Maka dari itu, penilaian subjektif adalah penilaian yang "tergantung / tidak baku / relatif". 
Saya katakan relatif, karena faktor kondisi atau suasana hati orang yang menilai itu sendiri

Kenapa demikian?
Perlu diketahui, bahwa dalam diri manusia banyak hal yang tak bisa dilihat (abstrak), kita sebut saja akal dan nafsu. Nafsu ini ada 2: nafsu syahwat dan nafsu ghodlob. Syahwat berkaitan dengan hal-hal yang disukai/like. Biasanya mendorong seseorang untuk mendapatkan apa yang disukai dan karena perasaan suka itu, seringkali seseorang mempengaruhi orang lain untuk menyukai apa yang disukainya. Demikian pula nafsu ghodlob, hanya saja, ghodlob berkaitan dengan hal-hal yang tidak disukai/dislike. Biasanya, nafsu ini mendorong seseorang untuk menghindar dari hal yang dibencinya dan berusaha mempengaruhi orang lain untuk menghindari apa yang dibencinya


Sehingga, ketika seseorang melakukan penilaian terhadap suatu benda atau seseorang, sangat sering bahkan saya bisa katakan: semuanya terpengaruhi oleh perasaan like / dislikenya terhadap sesuatu / seseorang tersebut. Oleh karena itulah penilaiannya bersifat subjektif/relatif tergantung sudut pandang orang yang menilainya itu sendiri. Dalam sebuah sya'ir Diwan Imam Syafi'i dikatakan:
وَعَينُ الرِضا عَن كُلِّ عَيبٍ كَليلَةٌ # وَلَكِنَّ عَينَ السُخطِ تُبدي المَساوِيا
"Pandangan rido (like) selalu tumpul dari kecacatan-kecacatan, tetapi pandangan kebencian (dislike) selalu menampakkan kejelekan-kejelekan"
Adapun aqal, itu berbeda dengan nafsu. Aqal seharusnya dijadikan alat untuk mengendalikan nafsu (syahwat/like dan ghodlob/dislike). Yang dengan pertimbangan aqal itu penilaian seseorang bisa lebih dekat dengan penilaian objektif. Karena hanya aqal yang bisa melakukan penilaian tersebut. Itupun jika aqal menjadi penguasa untuk syahwat dan ghodlob (nafsu). Sedangkan jika nafsu yang menguasai aqal, maka jangan harap penilaian itu bersifat objektif. Lebih parah lagi, justru yang terjadi hanya akal-akalan saja untuk menutupi kebusukan nafsu itu.

Bagaimana lebih jelasnya?
Contoh, saya menilai seseorang, katakanlah 'A'. Karena saya suka/cinta/like pada si A, maka saya pasti membaik-baikkannya, meski tak satupun kebaikan yang ia lakukan pada saya bahkan justru menyakiti saya. Bahkan, saya akan berusaha mempengaruhi orang lain untuk menyukai si A dengan berbagai cara, seperti: memuji, menyanjung, membuat citra baik bagi si A dan lain-lain.
Berbeda dengan penilaian saya pada si 'B'. Karena saya benci/tak cinta/dislike, maka saya pun berusaha menjelek-jelekkannya, sekalipun berjuta kebaikan yang dia lakukan pada saya. Bahkan saya bisa saja mempengaruhi orang lain untuk membenci si A dengan segala cara, seperti: menggunjing, memfitnah, menggibah dan lain-lain
Tapi jika saya menilai si A yang saya suka dengan mempertimbangkan aqal, maka saya berfikir bahwa: si B lebih layak saya beri nilai baik/bagus karena kebaikannya jauh lebih banyak daripada si A dan tak satupun kejelekan yang ia lakukan. Jadi, penilaian saya, si B lebih baik dari si A.
Sekarang coba bayangkan: Andai malaikat pencatat amal misalnya, diberi nafsu (like/dislike), pastilah malaikat itu tidak akan menuliskan amal baik yang dilakukan oleh orang yang dibencinya, sebaliknya, malaikat itu akan mencatatkan kebaikan-kebaikan yang tidak pernah dilakukan oleh orang yang disukainya. Maka, penilaian malaikat itu tidak objektif, tapi subjektif. Bahkan, malaikat akan melakukan manipulasi data sehingga tidak sesuai dengan realita.
Faktor eksternal yang tak kalah penting adalah: pembimbing aqal
Apa itu?Wahyu. Ya, Wahyu. Karena wahyu ini hanya bisa dibaca oleh aqal, maka akal punya tugas berat: memahami wahyu sebaik mungkin. Disamping tugas lain bagi aqal adalah membimbing nafsu (like/dislike) agar sesuai dengan panduan wahyu

Jadi, Haruskan nafsu 'dibunuh'?
Tidak ada anjuran untuk membunuh nafsu, kita hanya diberi mandat untuk mengendalikan nafsu dengan aqal dengan membaca panduan wahyu. Sebab, jika nafsu dibunuh, maka manusia, khususnya, tidak akan pernah memiliki kebudayaan. Kebudayaan itu lahir karena manusia punya rasa suka dan rasa benci. Umpamanya, rumah bagi manusia. Karena manusia benci kedinginan, kepanasan, kehujanan dan lain-lain sehingga manusia berfikir untuk menciptakan tempat berlindung dari itu semua, yaitu dengan cara membuat sebuah bangunan yang melindungi dirinya, maka didirikanlah rumah. Demikianlah kemajuan teknologi, kemajuan arsitektur, kemajuan kesenian, dan kemajuan-kemajuan lainnya itu, jika diteliti sampai ke akarnya, adalah dikarenakan manusia memiliki keinginan/rasa suka/like dan kebencian/rasa benci/dislike
Kesimpulannya:

Wahyu harus lebih tinggi daripada aqal, karena memang wahyu itu yang membimbing aqal. Nafsu syahwat dan ghodlob harus berada di bawah kendali aqal dan menguasai keduanya. Jangan sampai nafsu yang menguasai aqal. Maka penilaian yang akan timbul dari seseorang akan menjadi penilaian yang objektif/baku. Jika aqal telah dikuasai nafsu, maka subjektiflah penilaian seseorang. Bahkan, tak sedikit orang yang akal-akalan 'menjual' wahyu demi membela dan mempertahankan nafsunya. Jangan pula nafsu dihilangkan secara total, sebab nafsu yang menjadi faktor pendorong bagi manusia untuk membangun kebudayaan dan peradaban.


Semoga bermanfaat
Terima kasih dan mohon maaf
Wassalamu'alaikum wr.

0 komentar

Posting Komentar