'Bercerminlah'. Bersihkanlah Cerminmu Terlebih Dahulu
Assalamu'alaikum wr.
Pribahasa |
"Jika kita melihat orang lain selalu salah, cobalah 'bercermin'!. Barangkali 'cermin 'kita justru yang terlalu banyak debu". Feby Habibul Fikri
Ungkapan ini semakna dengan ucapan Sayyidina Umar RA:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا
"Periksalah dirimu sebelum kalian diperiksa (di Mahkamah Agung-Nya)"
Ucapan yang sarat dengan makna. Sekalipun sang pembicara; Sayyidina Umar telah meninggal, namun ucapannya sangat relevan sampai saat ini. Adalah benar, bahwa sebelum kita mengorek kesalahan orang lain, lihat dulu diri kita. Baca juga: Introspeksi
Demikian pula sabda nabi agung, Muhammad SAW:
َالْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ الْأمَانِي
"Orang cerdas adalah orang yang selalu mengawasi dirinya dan beraksi (beramal) untuk sesuatu yang terjadi setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah (bodoh; lawan cerdas) adalah dia yang selalu memperturutkan keinginan 'nafsunya' dan terlalu berangan-angan kepada Allah"
Imam Muhammad bin Sholih bin Muhammad al-utsaimin dalam kitabnya شرح رياض الصالحين menjelaskan makna hadits tersebut:
- Orang cerdas adalah orang yang kuat kecerdasannya dan senantiasa menggunakan kesempatan untuk mengintrospeksi diri: kewajiban apa yang tidak dikerjakan?, masih adakah hal yang diharamkan Allah yang masih dilakukan? sehingga dia senantiasa memperbaiki diri (tanpa merasa bahwa dirinya baik tentunya)
- Orang bodoh ialah: Yang selalu memperturutkan keinginan nafsunya; apa yang nafsunya sukai ia ambil/lakukan, apa yang tak diinginkan nafsunya ia tinggalkan. Baik ia sesuai dengan ketentuan Allah atau tidak. Alangkah banyaknya orang bodoh di zaman ini (zaman syaikh utsaimin hidup) yang memperturutkan keinginan nafsunya, mereka tidak peduli sekalipun bertentangan dengan al-Quran dan Hadits Nabi, bahkan mereka tidak menghiraukan hal itu (asal nafsunya puas)
- Terlalu berangan-angan kepada Allah artinya: Umpama seseorang berkata: "Allah pasti mengampuniku", "aku pasti istiqomah ke depannya", "aku akan melakukan kewajiban di hari esok dan esok", "Allah akan memberiku hidayah". Jika kamu memberi nasihat kepadanya, dia akan berkata: "aku akan memohon hidayah pada Allah untukku" atau kalimat semacamnya. Intinya, dia terlalu percaya diri akan masuk ke dalam surga Allah dan akan selamat dari neraka
Padahal, jika kita perhatikan sabda Nabi berikut yang diriwayatkan dari Jabir secara marfu':
يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ
"Semua hamba akan dibangkitkan (di hari kiamat) sesuai kondisi saat dia meninggalkan (dunia fana ini)"
Maksudnya, seseorang yang mengaku telah beriman kepada Allah dan Rosul-Nya, bahkan merasa paling membela Allah dan Rosul-Nya, mengaku ibadahnya, sholat, puasa dan zakatnya telah sempurna sepanjang hidupnya, namun ketika mati dia berada dalam kekufuran, maka segala amal baik yang ia lakukan selama di dunia ini tidak akan berarti apa-apa di hadapan Allah.
Demikian pula sebaliknya, seseorang yang sering melakukan kedzoliman, kelaliman, kemaksiatan, munkaroot, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang bertentangan dengan syari'at Allah, lalu dia ditakdirkan bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya kemudian mati membawa keimanan, maka dialah yang berkesempatan besar mendapat istana di surga-Nya nanti.
Bukankah Nabi Muhammad SAW mengisahkan seorang pezina yang masuk surga?
Bukankah Nabi pun mengisahkan seorang ahli ibadah yang justru masuk neraka?
Bukankah Nabi pun mengisahkan seorang ahli ibadah yang justru masuk neraka?
Maka, alangkah baiknya kita lebih sering membersihkan 'cermin' kita agar kita bisa jelas melihat diri kita sebenarnya daripada selalu menuduh orang lain sebagai pusat segala kemaksiatan, kekafiran dan ahli neraka. Karena kita pun bukanlah termasuk orang yang dijamin masuk surga.
Sebelum menjudge orang lain dengan segala kekurangan, mari kita periksa diri: kebaikan apa yang telah kita lakukan untuk agama, untuk diri kita, untuk keluarga, untuk masyarakat sekitar bahkan untuk negara?. Seberapa besarkah kesalahan orang lain?, jika dibandingkan dengan kesalahan kita, mana yang lebih besar?
Jangan sampai kita termasuk pribahasa:
"Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak"
Saran saya, ketika kita ingin menjelek-jelekkan siapapun, tolong fikirkan juga kebaikan dan budi baik, yang telah dia lakukan. Sisakanlah satu ruang dalam hati kita untuk menyimpan kebaikan orang lain!. Jangan sampai karena nila setitik, rusak susu sebelanga
Saran saya, ketika kita ingin menjelek-jelekkan siapapun, tolong fikirkan juga kebaikan dan budi baik, yang telah dia lakukan. Sisakanlah satu ruang dalam hati kita untuk menyimpan kebaikan orang lain!. Jangan sampai karena nila setitik, rusak susu sebelanga
Bagaiman jika ketika kelak kita dibangkitkan dalam keadaan merugi dan orang yang kita jelek-jelekkan justru mendapat keuntungan lebih karena amal baik kita (kalaupun ada) dihadiahkan kepadanya secara tidak sadar dengan perbuatan kita (menjelek-jelekkannya) selama kita hidup di dunia ini?
Saudaraku, tidak ada hak bagi kita untuk memvonis seseorang masuk neraka atau masuk surga. Kita hanya bisa mendo'akannya / meminta kepada Allah agar memeliharanya dari siksa neraka. Semoga dengan mendo'akan itu, kita beroleh keuntungan, di kehidupan yang sementara ini, terutama kehidupan yang sudah pasti akan kita jelang di episode kehidupan berikutnya yaitu akhirat.
Semoga tulisan ini membawa kesejukan dan menambah manfaat bagi kita semua untuk meningkatkan kualitas hidup kita yang sangat singkat ini dan terjalin hubungan yang semakin harmonis sebagaimana kita pun ingin saudara kita yang muslim, khususnya, masuk surga bersama-sama dengan kita. Karena betapa kesepiannya kita jika masuk surga seorang diri tanpa saudara dan sanak famili.
Terima kasih dan mohon ma'af
Wassalamu'alaikum wr.
0 komentar
Posting Komentar